Minggu, 13 November 2011

Godi dan Pemanggungan Puisi











SETELAH  Neng Peking menyuguhkan nomor tarian “Samping Kebat”, ia muncul dari sayap kanan panggung dan langsung duduk bersila. Membelakangi penonton dengan sepasang sapu lidi, menghadap bidang putih berupa susunan rebana. Dia Godi Suwarna. Suara tepuk tangan penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung,  Senin (23/5), seolah isyarat bahwa kehadirannya memang sudah ditunggu.  Menjadi puncak dari seluruh rangkaian acara yang bertajuk “Ngalang Karya Godi Suwarna” yang diselenggarakan oleh Komunitas 7 Damar.  

Malam itu panggung sepenuhnya menyajikan jagat perjalanan Godi Suwarna. Jagat yang tak hanya menampilkan karya-karyanya dalam pemanggungan puisi dan carpon, tapi juga biografi dan perjalanan kepenyairannya dalam khazanah sastra Sunda, lewat sebuah film dokumenter.

Di depan ratusan rebana yang disusun menjadi semacam latar, layaknya seorang dalang, Godi membuka penampilannya dengan “Jagat Alit”.
Sajak liris ihwal kesadaran atas lakon nasib manusia yang hanya sekadar bayang-bayang dan kedatangan maut itu, disuarakan dengan  menggeremang. //Hareupeun kelir: Kalangkang-kalangkang wayang/Kalangkang, usik-usikkan, kalangkah dirobah-robah/Ieu reundeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak/Pulang anting, pulang anting lebih dunya hideung bodas//...

Jika dalam sastra berbahasa Indonesia kita dengan mudah menyebut Rendra, Sutarji Calzoem Bachri, atau alm. Hamid Jabbar yang piawai membaca puisi sebagai sebuah peristiwa pertunjukan, maka dalam jagat sastra Sunda sangat sulit menyebut nama lain selain Godi Suwarna.  Dan sepasang sapu lidi ditangannya pun segera menjelma menjadi wayang yang disabetkan dan dibenturkan pada dinding rebana. Sabetan dan gesekan-gesekan lidi di permukaan rebana mengeluarkan bunyi mengikuti tempo pengucapan sajak.

Perulangan pada sejumlah diksi dan frase (Kalangkang, reujeung, pulang anting atau renghap ranjug), menciptakan suasana, irama dan tempo pertunjukan yang menarik. Godi fasih benar memainkan perulangan itu menjadi peristiwa pemanggungan puisi yang memikat. Di situ, “Jagat Alit” sebagai teks, terasa menawarkan modus komunikasi yang berbeda dengan, misalnya, ketika sajak itu  melakukan pertemuan personal yang intim dengan pembacanya.

Puisi ditulis tapi tak cukup dengan tulisan itu ia berkomunikasi. Ia ternyata memerlukan modus komunikasi yang lain, yakni, pelisanan atau pemanggungan. Modus pemanggungan ini seringkali tak cukup hanya sekadar menjadi semacam pembacaan (poetry reading) di mana pembaca hanya mengalihkan teks menjadi suara. Lebih dari itu, modus pemanggungan puisi telah berubah menjadi sebuah peristiwa pertunjukan. Maka, tabiat dari modus komunikasinya pun berubah. Ia lebih menekan sebagai peristiwa komunikasi massa yang terjadi secara serentak. 

Pendekatan terhadap teks tidak lagi terjadi dalam ruang yang intim dan personal dengan keragaman kualitas pemahaman. Melainkan berlangsung secara serempak yang mendasar pada kualitas pemanggungan. Maknanya sebagai teks seolah telah tersedia di atas panggung.

Dengan membawakan sajak “Jagat Alit” lewat permainan imajinasi seorang dalang,  tampak Godi paham benar bagaimana mengubah teks menjadi sebuah peristiwa pertunjukan. Terlebih lagi,  puisi ini adalah puisi kojo (favorite)-nya yang selalu dibacakan dalam berbagai acara pembacaan puisi, juga tentunya puisi “Grand Prix”. Untuk kedua puisi ini Godi tak lagi memerlukan teks untuk menuntun pembacaannya seperti halnya sebuah partitur.   Sehingga pemanggungan puisi hadir sebagai suatu totalitas peristiwa pertunjukan. Kedua puisi ini seakan telah menyatu ke dalam tubuhnya.

Dan inilah yang membedakannya ketika Godi membacakan “Nu Miang”, “Parapatan”, “Sajak Si Ujang Jalan-jalan”, “Sajak Kuda Gering”. Meski tak kehilangan daya tariknya sebagai sebuah pemanggungan puisi, tapi aroma maut yang termaktub di ujung sajak “Parapatan” atau yang muncul dari perspektif seorang anak dalam “Sajak Si Ujang Jalan-jalan”, tidaklah sekuat pada “Jagat Alit” dan “Grand Prix”.

Dalam membawakan sejumlah sajak tersebut, Godi lebih mengandalkan cara pembacaannya pada vokal yang terukur dan tenang, seraya memberi tekanan pada bagian-bagian yang dianggapnya menjadi “inti” suasana atau gagasan sajak. Terlebih lagi nada dasar sajak-sajak tersebut memang berbeda dengan “Jagat Alit” dan “Grand Prix”. Sebutlah, “Sajak Si Ujang Jalan-jalan” yang semi naratif. Lewat perspektif dan imajinasi seorang anak, penonton diajak berada di sebuah perempatan kota yang macet . Di situ peristiwa kematian hadir lewat ambulan yang membawa jenasah, dan diungkapkan lewat kenaifan memandang hubungan maut dan waktu.  Terasa menggelikan sekaligus menyedihkan, Hey, naha atuh ngangge maot dinten/ Minggu? Janten weh teu ngiring ameng!
                                                                          **
KARYA-karya Godi malam itu juga dibacakan oleh Yayat Hendayana, Rinrin Candraesmi, Rangga Rahardian, Inten Shaomi Febrisya Wirahma, Ayi Kurnia Iskandar, musikalisasi puisi Saung Sastra Lembang, dan drama tari Neng Peking. Mengandaikan bahwa karya yang ditampilkan malam itu mewakili perjalanan kepenyairan Godi sejak tahun 1976, tampaknya  hal itu berfokus pada sajak-sajak yang bertema kematian. Meski kualitas karya-karya Godi tak hanya terbatas pada tema semacam itu, tapi kehadiran maut memang menjadi penanda yang tak bisa dilepaskan pada karya penyair yang memberi kontribusi penting dalam perkembangan sastra Sunda ini.   

Tapi,  tema-tema kematian dalam sajak Godi bukanlah diniatkan sebagai kesadaran yang lantas menjadi nyinyir. Apalagi dilumuri oleh romantisme transenden yang mengharu-biru dan klise. Alih-alih sebagai kesadaran, kematian dalam sajak Godi lebih menekan sebagai peristiwa, sebagai risiko dari hasrat petualangan dan kegairahan hidup. Inilah, misalnya, yang terasa benar dalam “Jagat Alit”, “Grand Prix”, atau “Ronin”. Bahkan, jangan-jangan Godi sebenarnya tidaklah sedang berbicara ihwal kematian, melainkan tentang manusia dan hidup. Tekanan pada kematian sebagai peristiwa yang niscaya,  lebih diniatkan untuk memperbesar kesadaran ihwal hidup dengan segenap pergulatannya.

Inilah, misalnya, yang terasa dalam sajak “Ronin” yang dibacakan secara memikat oleh aktor Ayi Kurnia Iskandar. Seakan menjadi sebuah monolog, dalam tubuh Ayi  pergulatan manusia dan hidup dihadirkan sebagai seorang samurai yang tak bertuan. 

Di situ hidup dilukiskan sebagai ruang pertempuran yang penuh ancaman. Di tubuh Ayi, sapu lidi itu pun berubah menjadi sebilah samurai; ..../Urang estuning teu terang naon nu bakal/disorang jeung teu terang na di mana tungtung jalan. Tapi, Zamzam, urang ulah asa-asa nigasan beuheung sasama satacan ditigas deungeun/.../Zamzam, boa dina hiji mangsa kapaksa anjeun jeung/ kuring padungdung. Prung. Saha nu rek langgeng hirup. Saha nu ngemasi/pati, Taya bedana, Zamzam, taya bedana. Hirup pati papasangan!     

Demikian pula ketika hasrat hidup manusia dilukiskan dalam arena balap mobil seperti dalam sajak “Grand Prix” yang dibawakan Godi. Suasana sajak ini sama halnya dengan “Ronin”, yang menekan pada pergulatan manusia dalam hasratnya terhadap hidup. Bahwa kematian berada di ujung sajak, tidaklah lantas menjadikan hal itu sebagai sebuah klimaks kesadaran sebab ia telah menjadi sesuatu yang niscaya. Seperti “Ronin” sajak ini lebih menekan pada peristiwa bagaimana ketegangan hidup dilakoni, bukan pada apa yang ada di ujungnya. Demikian pula pada sajak “Jagat Alit” dan “Parapatan”.

Jika sajak Godi dengan kematian yang dibaca sebagai pusat atau klimaks kesadaran ihwal hidup manusia yang memang sudah niscaya, maka pembacaan semacam itu akan terjebak ke dalam bahasa yang sudah umum. Padahal puisi selalu melakukan perlawanan atas bahasa-bahasa yang umum.

Dengan tabiat komunikasinya yang berbeda, pemanggungan puisi memang selalu membuka ruang-ruang baru yang terdapat dalam teks. Terlebih pemanggungan itu diaksentuasikan dengan sejumlah elemen pertunjukan yang menarik. Tak hanya tubuh para pembaca dan penyairnya, melainkan juga set dan artistik yang digarap apik. Seperti apa yang disuguhkan oleh perupa Hanafi malam itu.          


Kematian tampaknya menjadi penanda yang penting dalam kemasan acara malam itu. Termasuk dalam pemutaran film dokumenter biografi Godi yang diakhiri dengan adegan di pekuburan keluarga. Di situ Godi menunjuk tempat yang kelak menjadi makamnya. Adegan penutup yang diam-diam menyisakan perasaan yang “lain”. Apalagi jika dihubungkan dengan niatan pemilihan waktu penyelenggaraan yang sengaja bertepatan dengan ulang tahun Godi Suwarna. Tapi apapun, panjang umur hendaknya, Kakang Prabu! (Ahda Imran)**     





Tidak ada komentar:

Posting Komentar