Sabtu, 12 November 2011

Pantura dalam Sandiwara



DEKOR panggung adalah lukisan di sebuah pantai ketika purnama. Bulan yang bulat semu merah, awan-awan tipis, bentangan laut, dan pohon-pohon nyiur. Sesekali dekor yang terbuat dari kain itu digerak-gerakkan sehingga menimbulkan efek gerak ombak pada air laut. Tapi dalam suasana yang romantis itu terjadi perdebatan yang lalu menjadi pertengkaran sengit, antara perempuan cantik Nyi Ageng Jemeti dan Suro Panglawen, seorang panglima perang Banten-Lebak.  


Pangkal perkara adalah Nyi Ageng tak bisa menerima cinta Suro karena ia sudah bersuami,  selir dari Sultan Hasanuddin Raja Banten. Mengetahui hal itu Suro tak perduli. Bukan karena cintanya demikian besar pada Nyi Ageng, tapi karena ia menyimpan kesumat dendam pada Sultan Hasanuddin, maka ia ingin melampiaskan kesumatnya itu pada salah seorang selirnya.

Sekeras Nyi Ageng menolak, sekeras itu juga Suro memaksa. Mula-mula dengan rayuan, tapi Nyi Ageng tetap tak bisa menerima cinta Suro dan hendak setia dengan Sultan Hasanuddin. Tak ada jalan lain, Suro mulai memaksa. Bahkan lelaki yang sudah konak itu memaksa Nyi Ageng untuk  melayani hasrat birahinya. Setelah kedua pemain menyelipkan mikropon di pinggang terjadilah adegan kejar-kejaran. Suro menangkap tubuh Nyi Ageng, dan siap memerkosanya. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan telak menghantam Suro! Ia terjengkang, Nyi Ageng lari.

Di depan Suro kini tegak seorang lelaki bernama Bagus Arwangga. Setelah keduanya berdebat, di atas panggung berlantai kayu itu terjadilah pertempuran sengit dilengkapi suara musik yang gemuruh, adu tenaga dalam. Lighting panggung bergerak-gerak cepat, juga suara desis dan ledakan, tak lupa asap (dry ice).

“Banjir darah Di Bumi Banten”, begitu judul sandiwara yang dimainkan oleh group sandiwara Lingga Buana Losarang Indramayu. Sayang, kecuali suara mereka yang tertawa serta hiruk-pikuk dan kerumunan anak kecil hingga ke tepi panggung, tak ada penonton yang tak tampak. Tapi tampaknya jumlah penonton pasti meluber. Adegan di atas panggung sandiwara tadi hanya bisa disaksikan lewat VCD yang banyak dijual di Kota Indramayu hingga Jatibarang. 

Tak ada keterangan di mana sandiwara itu dipanggungkan dan kapan.
Memang, sekarang (Bulan Januari) sedang musim yang diistilahkan paceklik bagi group-group sandiwara di Indramayu. Tak ada panggungan, karena belum musim panen. Selain musim paceklik, ada juga bulan-bulan sepi panggungan lainnya, seperti Bulan Ramadhan atau bulan antara Syawal dan Rayagung. Tapi apapun, satu hal yang jelas, sandiwara adalah panggung hiburan yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat pantura seperti Indramayu dan Cirebon. Beredarnya VCD-VCD sandiwara dari berbagai group di kaki lima menjadi bukti dari bagaimana lekatnya panggung sandiwara dan masyarakat pantura (pantai utara).

Tak hanya itu, lekatnya orang-orang pantura dengan panggung hiburan sandiwara dapat ditengok dengan papan-papan nama group sandiwara yang mencuri pandangan di tepi jalan sejak kita memasuki Kabupaten Indramayu, Budi Dharma, Budi Suci, Bima, Suci, Merah Kencana, Panca Indra, Dharma Saputra, Aneka Tunggal, Wira Buana, Yudha Putra, Chandra Sari, dan berbagai nama lainnya yang khas dan mentereng. Menurut penyair dan pengamat seni Supali Kasim, saat ini paling tidak terdapat 50 group sandiwara yang tersebar di Indramayu.

“Setiap group rata-rata terdiri dari 60 sampai 75 orang. Dari mulai pemain, nayaga, tukang lampu, tukang rias, dan petugas panggung. Kalau setiap group saja jumlah pemainnya 30 orang, maka ada 1500 pemain sandiwara. Bayangkan, dengan begitu Indramayu adalah daerah yang paling banyak memiliki seniman,” katanya.   

Kelekatan masayarakat Indramayu dengan sandiwara bisa juga ditengok ketika malam 17 Agustus 2006 yang lalu diadakan acara Malam Parade Sandiwara Pantura dengan menampilkan 6 group sandiwara di alun-alun Indramayu yang sampai dihadiri oleh ribuan khalayak.

Lepas dari itu, di tengah berbagai budaya visual modern, dari mulai sinetron hingga berbagai film VCD-DVD dan berbagai sarana hiburan lainnya,  kelekatan masyarakat pantura dengan sandiwara yang menggunakan bahasa Jawa-Dermayon dan cerita-cerita berbagai babad serta sejarah ini menjadi menarik, sekaligus menyimpan pertanyaan; apa sesungguhnya yang menjadi sebab dari kelekatan itu? Sistem sosial seperti apa yang telah menyebabkan group-group sandiwara itu tetap mampu bertahan, meski dikeluhkan bahwa organ tunggal tarling telah mengurangi panggungan sandiwara?
                                                                     **
TENTU  banyak sekali jawabannya. Tapi satu hal yang jelas, panggung sandiwara sebagai hiburan masyarakat pantura, yang muncul sejak tahun 1950-an, telah menjadi sebuah pertahanan yang unik untuk mempertahankan sebuah identitas. Di atas panggung sandiwara, penonton tak sekadar menemukan tontonan dan hiburan, tapi juga bertemu dengan identitas mereka lewat cerita yang diambil dari berbagai mitos, babad dan sejarah. Dan sebagaimana watak dari kesenian rakyat, seluruhnya muncul itu dari bawah, bukan dari sebuah rekaya atau strategi kultural para elite budaya atau birokrasi. Hal ini tentunya lepas dari soal bagaimana mitos, sejarah, dan babad itu ditafsirkan.

“Di Indramayu akan jadi omongan kalau orang kaya bikin hajat tanpa nanggap hiburan, di antaranya sandiwara,” ujar Supali Kasim.

Sistem dan tradisi sosial adalah roh dari keberadaan sebuah seni tradisi,  demikian pula dengan sandiwara. Menurut penyair Nurochman Sudibyo, panggungan dalam acara hajat kawinan lebih sering dibayar dengan cara seperti arisan. Orang akan membantu keluarga yang sedang hajat kawinan dengan sejumlah uang, dan jumlah yang sama akan diterimanya dari orang yang bersangkutan jika kelak ia pun mengadakan hajat kawinan atau sunatan. Kalau kurang dari jumlah yang dia beri dulu, dia bisa menagih.

Dalam konteks yang lebih dalam, ini hanyalah satu sisi dari wajah suatu komunitas masyarakat komunal dengan tradisi sosialnya yang unik. Dan di manapun, sebuah masyarakat komunal senantiasa bergerak dengan identitas kebersamaan. Tak hanya dalam peristiwa-peristiwa sakral, tapi juga ketika kebersamaan itu dirayakan menjadi peristiwa hiburan. 

Dalam hal ini,  masyarakat komunal memang cenderung menyukai pesta, keramaian dalam kegembiraan bersama. Kebahagiaan tak hanya dimiliki oleh seseorang atau sebuah keluarga, tapi juga menjadi hak orang-orang disekelilingnya untuk merayakannya, di samping juga tentunya menyangkut gengsi atau prestise sosial.  Di tengah perayaan itulah sebuah ruang publik terbangun. Orang bisa saling bertemu dan saling dipertemukan dalam sebuah identitas melalui tontonan yang langsung berhubungan dengan konteks tradisi mereka.

Tapi juga akan terlalu sederhana melihat bagaimana terbangunnya sebuah tradisi sosial dengan melupakan hubungannya dengan kenyataan geografisnya itu sendiri. Sebuah kenyataan geografis biasanya cenderung melahirkan budaya mata pencaharian masyarakatnya. Budaya inilah yang secara perlahan membangun semacam tradisi kepercayaan yang sakral, yang kemudian direpresentasikan dalam berbagai upacara. Dan kesakralan upacara itu terus mengalami pergeseran, sehingga ia menjadi sesuatu yang profan. Namun di tengah inilah upacara terus menjadi ruang hidup bagi berbagai bentuk seni tradisi, termasuk sandiwara. 

“Sandiwara selalu ramai ketika musim panen, pesta laut, sedekah bumi, atau unjungan, upacara penghormatan pada leluhur. Itu juga menggunakan sandiwara, “ kata Nurochman Sudibyo. 

Bahwa sandiwara ramai ditanggap ketika musim panen dan sedekah bumi, menunjukkan bagaimana daya hidup seni rakyat yang satu ini amat terkait dengan budaya pertanian. Demikian pula tanggapan dalam upacara sakral seperti pesta laut dan unjungan, yang langsung menjelaskan hubungan keberadaan sandiwara rakyat dengan sebuah tradisi kepercayaan masyarakatnya.    

Lepas dari anggapan bahwa tontonan dan hiburan telah menjadi semacam interupsi psikologis  dari kemiskinan yang menyesakkan, sistem dan tradisi sosial inilah agaknya yang membuat seni-seni rakyat di Indramayu keberadaannya tidak bernasib seperti di daerah-daerah lain, yang nyaris punah dan hidup merengek-rengek bergantung pada proposal bantuan. 

Dan inilah juga yang membuat para dalang (seniman) sandiwara memiliki rasa cinta yang besar dan tetap setia dengan panggung sandiwara, meski memang tak bisa dijadikan andalan hidup. Karena itulah tak jarang dalam kesehariannya mereka bekerja dari mulai tukang jahit, petani, tukang ojek hingga yang serabutan. “Karena itu ada olok-olok, siang jadi tukang becak, malam jadi raja!” kata Supali Kasim.

Meski harus mengeluarkan modal awal ratusan juta untuk membeli berbagai pelengkapan panggung, bagi pemiliknya group sandiwara juga tak bisa dijadikan semacam bisnis atau roda ekonomi. Karena itulah pemiliki sandiwara kebanyakan bukan orang “sembarangan”, kalau bukan kuwu mereka adalah para juragan.

“Semuanya hanya karena kesenangan dan kecintaan saja. Dulu orang tua saya pun pemilik Genjring umbul dan mertua saya pemilik Ketoprak. Tapi mereka semua tekor. Karena itu mereka dulu keberatan saya mendirikan sandiwara, ” ujar H. Eddy Nuradi S.E., (55)  pemilik sandiwara Chandra Sari yang terletak di Desa Kedunglegok Kec.Loh Bener Indramayu.

“Untuk mendirikan group sandiwara ini dulu saya sampai jual motor Yamaha!” tambahnya mengenang sambil tertawa.  Ia menuturkan, dari 6 juta rupiah bayaran yang diterimanya dalam sekali panggungan , itu habis untuk membayar para pemain, nayaga, dan petugas lampu dan panggung. Jikapun ada sisa itu itung-itung uang sewa gamelan, kendaraan, lampu, dan sound system.

“Sejak ada tarling dangdunt, panggung sekarang agak sepi. Dulu setahun kami bisa 180 kali panggungan, sekarang, seperti tahun 2006 kemarin hanya 120 kali panggungan,” ujar pimpinan sandiwara yang berdiri sejak tahun 1977 ini. 

Sebuah group sandiwara, seperti Chandra Sari,  juga hidup dengan tradisi pengeloaannya yang khas,  jauh dari manajemen modern. Tak ada sekertaris atau bendahara. Organisasi sepenuhnya ditangani oleh H. Eddy Nuradi. Dari mulai bayaran dan pinjaman pemain sampai urusan rumah-tangga. Demikian pula dengan kontrak pemain sehingga pemain tidak kabur dan main di group sandiwara lain.  Tak ada kontrak tertulis di atas segel, semuanya hanya berdasarkan kepercayaan saja.

Tentang suka-duka menjadi pemilik dan memimpin sebuah group sandiwara, H. Eddy Nuradi menuturkan bagaimana kesulitan timbul ketika musim tak ada panggungan, terutama menyangkut keuangan para pemain yang tidak mempunyai pekerjaan. Dalam situasi seperti itu tak ada jalan lain, kecuali kas bon. Di sinilah persoalan sering jadi runyam. Ketika hutangnya semakin besar dan tak mungkin terbayar, tak jarang pemain itu diam-diam kabur dan main di group lain.  

“Tentu saja saya tak bisa menuntut. Paling-paling saya hanya bisa ngomong saya pimpinan sandiwaranya. Seharusnya kan dia jangan dulu memakai pemain itu sebelum urusannya dengan group sandiwara dibereskan. Tapi jarang yang ada seperti itu,” papar H. Eddy Nuradi, seraya berharap perhatian pemerintah setempat yang jangan melulu menarik pajak tontonan dan ijin keramaian. Perhatian yang diharapnya dalam hal ini adalah bagaimana hendaknya pemerintah mulai memikirkan untuk membentuk koperasi sehingga para pemilik sandiwara tidak terus kerepotan.  

Tentang kebahagiaan memiliki dan memimpin group sandiwara ternyata buatnya sederhana saja. Yaitu ketika namanya disebut dalam lagu pembuka atau juga disebut-sebut oleh sinden. “Cukup begitu saja, saya sudah bahagia sekali,” ujarnya sambil tertawa.

Sandiwara pantura, hanyalah satu dari sekian banyak dan beragamnya seni tradisi masyarakat pantura. Sandiwara itu terus hidup dan telah menjadi bagian dari tradisi sosial dan system kepercayaan masyarakatnya. Mungkin juga tradisi sandiwara rakyat itu bukan hanya sekadar bagian, namun juga telah melanggengkan tradisi sosial tersebut dengan terus mengusung identitas kebersamaan lewat peristiwa panggungan sebagai peristiwa terbangunnya sebuah ruang publik. Setiap orang di situ saling berkomunikasi, termasuk dengan spirit identitas kulturalnya yang diusung ke atas panggung.**     

























1 komentar:

  1. saya lagi butuh pemain sandiwara....kira2 mas punya nomor yang bisa sy hubungi?
    kontak sy ke 082130297187

    BalasHapus