Selasa, 30 Desember 2014

Annelies Mellema

 (sebuah monolog)          

---AHDA IMRAN

#Satu

DARI  kisah yang ditulis oleh Tuan Pramoedya, kau sudah tahu bagaimana nasibku; Annelies Mellema, puteri mendiang Herman Mellema dari gundiknya bernama Sanikem; harus dikirim ke Negeri Belanda. Begitu keputusan pengadilan di Amsterdam. Tak seorang pun bisa melawan keputusan itu, tidak juga Mama dan Minke. Pengadilan kulit putih itu tak punya urusan dengan Mama. Mama hanya perempuan pribumi dan gundik.

Walaupun ia seorang Raden Mas yang punya hak istimewa di antara kaum pribumi, namun pengadilan juga tak punya urusan dengan Minke Suamiku. Hukum Eropa itu bahkan menganggap aku masih di bawah umur, hak perwalianku ada di tangan Maurits Mellema, kakak tiri yang belum pernah kukenal.

Atas nama perwalian itulah aku dikirim ke Belanda. Aku merasa diriku ini dianggap sebatang tanaman, dicabut dan dipindahkan tempatnya; dipisahkan dari  Mama dan  Minke, tanah tempatku tumbuh dan berlindung.  Sejak datangnya keputusan itu aku sangat ketakutan, perasaan dan pikiranku pelan-pelan pergi dari dalam tubuhku.

Sabtu, 13 Desember 2014

Mengepung Ratu Adil


Oleh AHDA IMRAN

KEKUASAAN dan pemberontakan selalu menjadi tradisi dialektis yang niscaya. Terutama bila kekuasaan membuat rakyat sengsara dan putus asa, maka harapan ihwal masa depan harus segera diselamatkan dengan jalan pemberontakan. Di situ, meminjam perkataan Albert Camus, setiap ide tentang pemberontakan meminta suatu nilai. Dalam sejarah kekuasaan di Nusantara, tradisi pemberontakan rakyat berkelindan dengan banyak  ihwal. Sebagai suatu ide, berbagai pemberontakan rakyat di Nusantara tak bisa disendirikan dari bagaimana masyarakat tradisional (Jawa) mengimani konstruksi waktu serta siklus tabiat kekuasaan (Kertayuga, Tretayuga, Kaliyuga).

Konstruksi tersebut dikuatkan pula sejumlah ramalan yang diimani sebagai janji masa depan ihwal kedatangan Ratu Adil (Erucokro, Satrio Piningit), seorang Juru Selamat yang tersebut pula di sumber-sumber keagamaan; Mesiah atau Imam Mahdi. Mereka inilah yang akan mengembalikan kemakmuran masa silam, menegakkan kembali hukum-hukum suci yang dikotori oleh kekuasaan.

Pada konteks ini, gagasan pemberontakan muncul bukan semata sebagai reaksi atas kekuasaan, namun pula reaksi atas kuasa perubahan yang diusung oleh modernitas.  Kuasa yang membikin lapuk kekuasaan dan sistem nilai lama. Di tengah kuasa perubahan itu, karena masa depan tak bisa dirumuskan apalagi digenggam, maka narasi masa silam yang tenteram menjadi satu-satunya realitas ideal yang menjadi harapan.

Akan tetapi, dengan utopia serupa itulah pemberontakan dilakukan sebagai “perang suci”, menghadapi dua kekuasaan sekaligus; kuasa politik dan ekonomi negara serta kuasa perubahan yang diusung modernitas. Meski pemberontakan selalu berujung tragis, sepanjang rakyat belum merasakan keadilan pembangkangan akan terus muncul, bergitu pula kemunculan sosok yang mendaku sebagai Ratu Adil dan nabi pribumi. 

Inilah yang mengemuka dalam Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) 2014 dengan tema  “Ratu Adil: Kuasa & Pemberontakan di Nusantara”, di kawasan Candi Borobudur Magelang, 12-15 Nopember. Selama tiga hari festival ini mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan di panggung kesenian dua desa lereng Gunung Merbabu dan Merapi.  Ini festival tahunan yang ketigakalinya diadakan oleh Yayasan Samana. Diikuti oleh para penulis, sejarawan, mahasiswa, komunitas kesenian, dan berbagai kalangan penggiat budaya.

Kuasa Perubahan
Di forum seminar Ratuadilime diurai seraya memperluasnya ke berbagai pemikiran ihwal hakikat pemberontakan di Nusantara. Uraian Dr.Peter Carey tentang Pangeran Diponegoro, gerakan mahdiisme Tengkeu Bantaqiyah di Aceh (Dr. Otto Syamsuddin Ishak), pergerarakan Ratu Adil di Biak Papua (Dr. Enos H Rumansara), hingga telaah menarik Jean Couteau tentang gerakan Ratu Adil di Bali. Pula begitu dengan pembacaan Dr. Setyo Wibowo yang membandingkan tradisi pemberontakan di Jawa dan di Yunani.  

Seluruh gerakan pembangkangan itu tidak sekadar minta diingat sebagai sekelompok orang yang mengangkat senjata melawan dominasi penguasa. Melainka tak bisa disendirikan dengan konsep waktu dalam masyarakat tradisional di tengah kuasa perubahan. Soalnya mungkin bukan hanya masa silam yang ditaruh sebagai realitas ideal, tetapi kegagalan mentransformasikan harapan ke dalam kuasa perubahan. Terlebih manakala kuasa itu adalah kuasa modernitas yang meminta pembacaan kritis terhadap mitos dan narasi masa silam. Pada konteks inilah Ratuadilisme meninggalkan jejaknya hingga hari ini dalam kontruksi identitas kebangsaan dan agama.    

Kuasa perubahan adalah hukum besi kebudayaan. Hukum yang pada tabiatnya yang lain melahirkan cara pembacaan yang berbeda atas kepercayaan masa silam yang diimani sebagai kebenaran absolut. Dari cara pembacaan inilah dalam masyarakat tradisional muncul bentuk pembangkangan berikutnya atas kuasa ortodoksi agama, yakni, mereka yang mendaku sebagai nabi seperti diurai oleh Dr. Al Makin.

Panggung Ratu Adil
Ratu Adil lalu dibawa ke Dusun Gajayan di lereng Gunung Merbabu dan Desa Tutup Ngisor di lereng
jurnal-asia.com
Gunung Merapi. Selama dua malam, bersama warga desa Ratu Adil ditaruh dipanggung pertunjukan. Ratu Adil itu dikepung dalam pembacaan puisi, monolog, tarian, dan nyanyian. Kurasi festival berupaya menemukan tautan antara perbincangan di ruang seminar dengan kesadaran yang direpresentasikan dalam karya dan penampilan para seniman.

Tentu saja itu menjadi niscaya, sebab praktik-praktik seni senantiasa memaktubkan pemberontakan demi berhadapan dengan kuasa perubahan. Setidaknya itu terlihat pada tema karya para seniman yang diundang. Mulai dari pembangkangan Kartosuwiryo dalam pembacaan puisi Trianto Triwikromo hingga pengakuan topeng seorang anggota DPR dalam monolog Ine Febrianti. Tema-tema yang luluh ke dalam realitas tanpa menjadikan harapan sebagai khotbah. 

Tautan itu juga terasa benar dalam sejumlah nomor tarian yang disuguhkan oleh Komunitas Lima Gunung. Tarian yang memadukan bentuk idiom-diom ritual tradisi lokal dan Islam yang merepresentasikan pembangkangan. Pandangan mistis magis dalam kepercayaan masyarakat tradisional serta agama merupakan watak dari pembangkangan Ratu Adil. Hentakan kaki dan tubuh para penari yang liat dan tegas, barisan para prajurit perempuan, atau kuasa jahat yang dilambangkan dengan topeng dan perlawan terhadap mereka.

Pada bentuknya yang lain beberapa nomor tarian hadir tak terduga demi menjawab kuasa perubahan. Termasuk kuasa yang tidak dihindari melainkan dirangkum demi membangkang pada kategorisasi identitas masa silam yang beku. Sebutlah, tarian para perempuan desa dengan iringan karawitan Jawa yang memainkan melodi lagu Batak “Si Nanggar Tulo Ha Tulo” di panggung Padepokan Tjipto Budojo Desa Tutup Ngisor.

Mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan peristiwa seni selama tiga hari itu akhirnya menjadi cara berikutnya untuk merayakan pemberontakan dan merawat harapan. Soalnya bukan lagi pertanyaan, apakah pemikiran tentang Ratu Adil itu positif atau negatif dalam realitas hari ini? Tetapi, bagaimana mentransformasikan konsep Ratu Adil menjadi harapan baru demi menyiasati berbagai kuasa perubahan yang terus didesakkan oleh modernitas. Bukan harapan yang menyangkal kuasa perubahan seraya memandang masa lalu sebagai masa depan, seperti gambar mantan Presiden Soeharto yang  banyak muncul menjelang pemilu lalu; piye kabare, enak jamanku toh?**     

AHDA IMRAN, penyair


Sumber : Kompas, 7 Desember 2014 

Selasa, 19 Agustus 2014

Tubuh Pemimpin




Ahda Imran---penyair dan esais

SEBUAH foto beredar di sosial media dan ditayangkan di salah satu stasiun TV. Foto itu memperlihatkan Jokowi sedang berjalan di antara ribuan pendukungnya memasuki Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, menghadiri Konser Salam Dua Jari. Meski beberapa orang mengawalnya, namun tampak dalam foto itu ada tangan seorang perempuan yang menjawil gemas pipi Jokowi. Lebih dari sekadar hendak memperlihatkan bentuk fanatisme seorang pendukung pada capres pilihannya, foto itu tampaknya sedang menjelaskan pula relasi makna kehadiran tubuh seorang capres dengan tubuh para pendukungnya. Relasi yang membuat para pendukung memaknai kehadiran tubuh Jokowi bukan sebagai tubuh elite, melainkan seolah kehadiran dari bagian tubuh mereka juga.

Kamis, 07 Agustus 2014

Perubahan Politik dan Ratuadilisme






Tentara Satrio Piningit itu tidak kelihatan, Jokowi juga begitu, karena tentaranya adalah para relawan yang bergerak di sosmed

ITU tulis seorang kawan di akun facebooknya, sehari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla sebagai Presiden-Wakil Presiden terpilih Pilpres 2014. Benar tidaknya Jokowi adalah Satrio Piningit tentu saja perlu diperdebatkan (debatable). Sebagaimana pula sejumlah sosok yang sebelumnya diyakini, atau meyakinkan dirinya, sebagai Satrio Piningit.  Sosok yang dipercayai akan mengeluarkan rakyat dari kesengsaraan; memperbaiki segenap tatanan nilai yang telah porak-poranda, mengembalikan kembali hukum-hukum kebajikan. Sosok yang dalam banyak literature klasik Jawa kerap disebut sebagai representasi dari konsep Ratu Adil.     

Minggu, 20 Juli 2014

Menyoal RUU Kebudayaan




Ahda Imran—Penyair dan Esais

KEBUDAYAAN  tak pernah tersebut dalam hiruk-pikuk pilpres 2014. Apa lagi menjadi tema dalam perdebatan capres-cawapres. Bahkan pada perdebatan capres ihwal pertahanan dan ketahanan nasional, kedua capres tak sekalipun menyebut ketahanan budaya sebagai bagian dari visi-misi mereka. Kenyataan ini cukup mengherankan mengingat hubungan negara dan kebudayaan ialah suatu keniscayaan sebagaimana termaktub dalam konstitusi (Pasal 32 UUD 1945). 

Sementara jauh dari hingar bingar pilpres, RUU Kebudayaan mendesak untuk segera disahkan menjelang berakhirnya periode keanggotaan DPR RI (2009-2014). Desakan terhadap RUU yang telah disusun sejak tahun 2011 itu seolah kejar target. Terlebih lagi desakan juga terus bermunculan dari berbagai komunitas budaya. Terakhir dari hasil Temu Redaktur Kebudayaan III di Siak, Riau, 20-22 Mei 2014, dalam bentuk Petisi Siak 2014.

Salah satu butir petisi tersebut ialah desakan agar DPRI dan pemerintah segera mengesahkan RUU Kebudayaan sehingga pemerintahan baru hasil pilpres 2014 segera bisa menindaklanjuti. Tak jelas benar bagaimana sebenarnya forum pertemuan para redaktur kebudayaan itu  melakukan pembacaan atas RUU tersebut, seolah-olah RUU itu tak perlu lagi dipersoalkan.
   
Inferior                                                                         
RUU Kebudayaan terdiri atas tujuh bab dan 94 pasal ditambah penjelasan. Secara umum RUU ini hendak menjadi landasan strategi budaya dalam berbagai fenomena aktual yang terjadi di tengah realitas global. Namun, alih-alih menjawab keniscayaan itu dengan penuh percaya diri, bahkan sejak pagi RUU ini telah memperlihatkan sikap inferior.

Bahkan Inferioritas ini telah ditaruh sebagai pertimbangan terbitnya UU Kebudayaan, sebagaimana termaktub dalam Konsideran Menimbang huruf “c” ; bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat. 

Kalimat ini memosisikan globalisasi sebagai antagonis yang berbahaya bagi identitas sistem nilai berbagai budaya Indonesia. Sebaliknya dari itu, RUU ini memandang keberbagaian budaya di Indonesia sangat lemah, rentan terhadap pengaruh yang datang dari luar. Artinya, alih-alih dibaca sebagai ruang dialog, globalisasi dimaknai sebagai ancaman yang berbahaya. Pandangan ini jelas mengabaikan pembacaan atas realitas historis, bagaimana beragam budaya di Indonesia terbentuk sebagai hasil pertemuan dan dialektika kebudayaan yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam.  

Penilaian bahwa berbagai budaya di Indonesia itu sangat rentan terhadap pengaruh yang datang dari luar, membawa logika penilaian; budaya global itu kuat dan budaya Indonesia itu lemah. Sangat sulit membayangkan strategi budaya suatu negara dijalankan di atas landasan UU yang disusun dengan pertimbangan yang inferior semacam ini. 

Pengendalian
Penilaian bahwa budaya Indonesia sangat rentan, akhirnya menjadi pembenaran pentingnya pemerintah mengelola, mengawasi, dan mengendalikan kebudayaan, sebagaimana RUU ini memaktubkannya dalam Pasal 1 Poin 5.  Asumsi bahwa budaya Indonesia lemah di tengah globalisasi lebih jauh memberi peran besar pada pemerintah untuk tak sekadar mengawasi dan mengendalikan, namun juga melindungi.

Tentu saja adalah kewajiban negara melindungi berbagai aset dan potensi budaya. Namun dalam RUU ini bentuk proteksi yang dilakukan muncul dari ketidakpercayaan bahwa berbagai budaya di Indonesia memiliki mekanisme perlindungan dirinya. Oleh sebab itulah ada sembilan pasal yang menyebut pembentukan Komisi Perlindungan Kebudayaan. Komisi ini dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada presiden.   
Tugas pokok komisi ini adalah mengawasi penyelenggaraan kebudayaan, membuat sejumlah kriteria dampak negarif kebudayaan, hingga menetapkan status sebuah bentuk budaya yang berdampak negatif.

Dengan eufemisme melindungi, komisi ini lebih terkesan sebagai  perpanjangan tangan pemerintah; mengawasi, mengontrol, menyensor beragam ekspresi kebudayaan. Keberadaan komisi ini jauh dari menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 32 UUD 1945.  

Pembacaan yang lebih kritis dan hati-hati atas RUU Kebudayaan tampaknya lebih diperlukan ketimbang mendesak pengesahannya. Mengesahkan RUU ini menjadi UU Kebudayaan dengan semangat yang akan menjadi landasan bagi dominasi pemerintah serupa itu, risikonya kelewat besar. Apalagi hanya demi kepuasan para anggora DPR untuk melunasi semua kewajibannya.**

Sumber: Pikiran Rakyat, 19 Juli 2014

Jumat, 30 Mei 2014

Utopia Para Pemuja




Oleh Ahda Imran

PILPRES  2014 tampaknya tengah memberi gelagat ke arah realitas demokrasi yang disesaki para pemuja. Meski belum tentu berlaku sebaliknya, sebagaimana ghalibnya para pemuja sekaligus adalah para pembenci. Dengan dua pasangan capres-cawapres (Joko Widodo-Yusuf Kalla; Prabowo Subianto-Hatta Rajasa), terutama di jejaring media-sosial, para pemuja kedua kubu riuh saling serang. Memuja kandidat pilihan seraya menaruh kebencian yang sengit pada kandidat pesaing.  Jejaring media-sosial lalu menjadi “Kurusetra”; perjumpaan para pemuja sekaligus pertempuran para pembenci.

Karnaval para para pemuja ini tak sebatas hanya diikuti khalayak awam, melainkan pula para elite politik di kedua kubu pasangan. Seperti para pemuja lainnya, orang-orang terhormat ini pun berlaku sama. Rajin melontarkan sinisme ke arah figur kandidat pesaing, dengan agresivitas yang sama dengan khalayak awam.

Minggu, 25 Mei 2014

Sakitnya Merawat Harapan




---Ahda Imran, penyair dan esais

MESKI  kian berselisih jalan dengan yang apa selalu dijanjikan, belumlah cukup alasan untuk berhenti menaruh harapan pada demokrasi. Harapan bahwa dinamika politik bukan melulu rutinitas yang serba teknis prosedural. Namun, membawa nilai yang mewujud bagi kemaslahatan dan kedaulatan khayalak, kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dan seakan tengah mengamalkan ungkapan Erich Formm, bahwa harapan adalah tiang penyangga dunia, di Indonesia khalayak merawat tiang penyangga itu dengan tangan yang sakit. 

Selasa, 06 Mei 2014

Mei 1998 dan Politik Ingatan




  ---Ahda Imran , penyair & esais

AWAL tahun 1998, di tengah semangat reformasi dan ketegangan yang kian mengancam 32 tahun kejayaan Orde Baru, ada terbit sebuah buku, “Mereka dari Bandung:Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967”.  Buku setebal 524 halaman itu ditulis oleh Hasyrul Moechtar, diterbitkan oleh Penerbit Alumni. Buku ini terbit di tahun yang genting. Tahun penghujung dari apa yang ingin diingat dalam buku tersebut, perjuangan para mahasiswa yang turut membidani lahirnya Orde Baru.  Seluruh halaman buku seakan hadir demi memaknai masa silam yang jejak perjalanannya di tahun 1998 itu oleh para mahasiswa sedang mati-matian ditumbangkan.  Dan empat bulan setelah buku itu terbit, kejayaan Orde Baru berakhir.   

Senin, 07 April 2014

Tubuh Primordial dari Sebuah Festival Teater




Oleh Ahda Imran

TAK  pernah ada di Indonesia sebuah festival teater berbahasa daerah yang secara kontinu berlangsung sepanjang 25 tahun, seperti Festival Drama Basa Sunda (FDBS). Berlangsung dua tahunan sejak 1988, bertempat di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, diselenggarakan oleh Teater Sunda Kiwari (TSK). Peneraan kata “Drama Basa Sunda” menjelaskan bentuk pertunjukkan yang dianut oleh festival ini, yaitu, teater modern dalam bahasa daerah.  Peneraan ini sekaligus sedang menjelaskan hasrat TSK mensyiarkan anutan ideologi estetika mereka. Yakni,  menaruh atau memaknai bahasa dan tubuh primordial (Sunda) di atas panggung teater modern.  

Festival ini seakan ingin menawarkan perspektif berikutnya demi memeriksa asumsi bahwa jagat teater modern adalah teater urban. Jagat yang setidaknya terkesan kuat menaruh setiap pertunjukan berbahasa lokal sebagai yang bukan teater modern. Bila pun ada, lokalitas itu tak lebih sekadar demi meneguhkan apa yang disebut dengan teater modern Indonesia, sebagaimana mengemuka dalam tema perhelatan Forum Teater Empat Kota  1976  di Jakarta ; “Warna Daerah dalam Teater Indonesia”.  Atau, yang mudah ditemukan dalam berbagai produksi kelompok teater modern dengan latar warna dan idiom budaya daerah.

Senin, 24 Maret 2014

Esai Penutup "Rusa Berbulu Merah"




Mythopoesis, Urban Pastoral
Suatu Kemungkinan Membaca “Rusa Berbulu Merah”

                                                          ---TIA SETIADI

A myth was an event which, in some sense, had happened once, but which also happened all the time.
(A Short History of Myth, Karen Amstrong)

These fragments I have shored against my ruins.
( The Waste Land, T.S.Elliot)

/1/
         
Bisa dikatakan bahwa kumpulan sajak Ahda Imran yang terbaru bertajuk Rusa Berbulu Merah adalah sajak-sajak yang sadar diri, puisi-puisi yang tertegun merenungkan dirinya . Bagian pertama dan bagian terakhir dari kumpulan ini adalah sajak tentang sajak, bagaimana sajak dibuat, bagaimana perannya dalam menemukan diri dan melampauinya, menemukan universum yang lain dan merekonsiliasinya, membersihkan dan menciptakan bahasa dan defleksi-defleksinya, kutukan-kutukannya. Kata-kata seperti bergulung pada dirinya, dan seraya demikian juga menyucikan dan membeningkan dirinya. Maka dengan begitu  kumpulan sajak Ahda ini ibarat sirkuit, suatu putaran melingkar yang awalnya adalah juga akhirnya. Di tengah-tengahnya si aku lirik menjelma desisan ular, rusa berbulu merah, burung-burung, kaki angin dan malam dan kelok jalan, orang lain dan makhluk lain. Dan pada akhirnya—menyitir kalimat Octavio Paz—“citra tentang manusia menjadi terlahirkan dalam manusia.” Si aku lirik menjelma citra yang merekonsiliasi—dan mentranformasi—segala anasir yang bersitentang, puisi yang menciptakan dirinya, dan berbicara kepada dirinya, dengan dan melalui dirinya.
            Ruh kumpulan sajak ini agaknya terkondensasi dalam bagian akhir Empat Pelajaran Menulis Puisi. Kredo puisi yang ditulis dengan puisi, sekaligus membabarkan stasi-stasi yang ditempuh penyair dalam menulis puisi. Saya mendapati bahwa stasi-stasi ini ham

Sabtu, 01 Maret 2014

Menanti Seniman Politik




---Ahda Imran,  Penyair dan Esais


NAMANYA Nyoman Anjani, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB, sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Jurusan Teknik Mesin. Memakai baju hangat, celana jins dan sepatu keats, rambut terurai, memakai kacamata, dan cantik. Malam itu (22/1), dalam acara “Peta(ka): Orasi Kebudayaan Akhir Tahun” di Lapangan Merah Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB , ia tampil sebagai orator paling muda di antara orator lainnya; Dr. Yasraf Amir Piliang, Prof. Setiawan Sabana, Dr. Asep Salahudin, Gustaff Hariman Iskandar, dan Prof. Bambang Hidayat. Dengan gayanya yang santai ia bicara ihwal politik dan seni, tanpa perlu mengutip kalimat-kali gagah Marx, Soekarno, Tan Malaka, Lenin, atau Plato, yang lazimnya jadi kebiasaan aktivis kampus. 

Senin, 10 Februari 2014

Sandiwara Tan Malaka



SEJAK  ia ditangkap di Bandung dan diusir oleh pemerintah kolonial tahun 1922, mengembara berpuluh-puluh tahun ke berbagai negeri di Eropa dan Asia, serta kembali ke Indonesia pada tahun 1942, Tan Malaka hidup sebagai seorang pelarian politik. Ia tak sekadar dikejar dan diburu oleh intelijen Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat, tetapi juga dimusuhi oleh Komunis International (Komintern). Dan selama dalam pengembaraannya itu Tan Malaka hidup dengan banyak nama. Ketika berada di Filipina ia mengaku bernama Ellias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera. Ong Song Lee atau Tang Ming Sion, Chen Kuan Tat,  sewaktu ia berada di China dan Birma. Ketika berada di Singapura ia mengaku bernama Hasan Gozali, dan Ilyas Husein sewaktu ia datang ke Indonesia.

Senin, 03 Februari 2014

33 Tokoh Sastra dan Akal Sehat




Oleh Ahda Imran

JANUARI 2013  penerbit PT JurnalSajak Indonesia menerbitkan buku bertajuk “Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia” (PEKBPI).  Dieditori oleh penyair Acep Zamzam Noor, buku ini sepenuhnya menyoal ihwal puisi esai. Ragam puisi baru yang digagas oleh D. Jauhar Ali, konsultan politik termashur di Lingkar Survey Indonesia (LSI), yang pada 2012 menerbitkan kumpulan puisi esai “Atas Nama Cinta” (ANC).  Seraya memuat ulasan perihal kumpulan ANC, PEKBPI  memuat pula segala ihwal yang bersangkut soal dengan puisi esai..

Dalam sejarah sastra Indonesia, belum pernah ada sebuah buku diterbitkan demi menyambut kumpulan puisi seorang penyair seperti ANC. Tidak tanggung-tanggung, para penulis yang mengulas kumpulan itu pun adalah sejumlah tokoh berpengaruh, Sutardji Calzoem Bachri, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleiden, Leon Agusta, Agus R.Sardjono, Jamal D.Rahman. Pada intinya, PEKBPI menyambut kehadiran kumpulan D. Jauhar Ali tersebut sebagai pemberi kesegaran bagi perpuisian Indonesia.

Januari 2014 terbitlah buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” (33 TSIPB).