Selasa, 30 Desember 2014

Annelies Mellema

 (sebuah monolog)          

---AHDA IMRAN

#Satu

DARI  kisah yang ditulis oleh Tuan Pramoedya, kau sudah tahu bagaimana nasibku; Annelies Mellema, puteri mendiang Herman Mellema dari gundiknya bernama Sanikem; harus dikirim ke Negeri Belanda. Begitu keputusan pengadilan di Amsterdam. Tak seorang pun bisa melawan keputusan itu, tidak juga Mama dan Minke. Pengadilan kulit putih itu tak punya urusan dengan Mama. Mama hanya perempuan pribumi dan gundik.

Walaupun ia seorang Raden Mas yang punya hak istimewa di antara kaum pribumi, namun pengadilan juga tak punya urusan dengan Minke Suamiku. Hukum Eropa itu bahkan menganggap aku masih di bawah umur, hak perwalianku ada di tangan Maurits Mellema, kakak tiri yang belum pernah kukenal.

Atas nama perwalian itulah aku dikirim ke Belanda. Aku merasa diriku ini dianggap sebatang tanaman, dicabut dan dipindahkan tempatnya; dipisahkan dari  Mama dan  Minke, tanah tempatku tumbuh dan berlindung.  Sejak datangnya keputusan itu aku sangat ketakutan, perasaan dan pikiranku pelan-pelan pergi dari dalam tubuhku.


Di hari-hari terakhirku di rumah Wonokromo, aku hanya memandang ke luar jendela, langit dan angin yang mengubah bentuk-bentuk awan yang bergerak pelan. Tapi aku tak melihat apapun di luar sana. Tidak juga kebun kacang, peternakan, suara lenguh sapi dan harum susu, ringkik Si Bawuk kudaku, atau suara mandor Darsam. Mama dan Minke terus berusaha melawan, meski akhirnya tahu tak ada pribumi yang sanggup melawan hukum Eropa.

Lalu datanglah hari itu. Dua orang perempuan Belanda datang menjemputku ke kamar, membawaku keluar, memegangi tubuhku seperti membawa sebuah patung lilin yang rapuh. Kubiarkan tangan mereka yang putih bertotol-totol itu menyentuhku. Aku berjalan mengikuti ke mana mereka membawaku. Aku tak menoleh ke arah Mama dan Minke, tak ada pelukan perpisahan di antara kami, karena memang tak ada apa pun lagi dalam diriku. Aku dibawa ke Surabaya, tubuhku dinaikkan ke dalam kapal. Hanya tubuhku.   

#Dua

BEGINILAH  aku sekarang, sendirian dengan koper tua ini. Ini koper Sanikem sewaktu ia dulu harus meninggalkan rumahnya, dibawa bapaknya ke rumah Tuan Herman Mellema untuk dijadikan gundik, ditukar dengan jabatan Juru Bayar di pabrik gula. Sejak itu selamanya Sanikem menjadi gundik yang bernama Nyai Ontosoroh, Mamaku.

Sejak kecil aku selalu berada di dekat Mama, menjadi anak manja dan kesayangannya, sampai aku mengerti siapa Mama yang sebenarnya. Mama seorang nyai yang terhormat karena sikap, pengetahuan dan berpikiran maju. Semua orang segan dan hormat pada Mama. Bukan hanya Minke siswa H.B. S,  pelukis Prancis Jean Marais, atau juga Dokter Martinet dan Tuan Kommer seorang wartawan, bahkan Juffrow Magda Peters guru kesayangan Minke yang pandai itu; adalah penganggum Mama. Karena kebenaran sikap dan perkataan Mama, selalu kukatakan pada siapapun bahwa aku bukan Belanda atau Eropa; aku pribumi, seperti Mama.    
Sanikem tak pernah pulang lagi rumahnya. Masa lalunya itu diingat Mama dengan rasa pahit dan dendam, termasuk pada Herman Mellema, Papaku. Eropa yang dipuji dan dibanggakan, yang semua pengetahuannya diajarkan Papa pada Mama, ternyata penuh penghinaan pada pribumi, pada Mama, seorang gundik.  Dan Herman Mellema, Papaku itu, tak bisa membela Mama. Sejak itu tak ada lagi hormat Mama pada Herman Mellema, selain kebencian dan dendam atas semua penghinaan yang diterimanya.  

Karena dendam itulah Mama menjadi sangat keras, begitu juga dalam mendidikku. Mama mengeluarkanku dari sekolah, aku harus kerja keras mengurus perusahaan susu milik kami. Mama membenci kelemahan, tidak pernah takut melawan jika harga diri dan kehormatannya dihina. Menjadi pribumi adalah suatu kesalahan, apalagi menjadi perempuan pribumi; dan menjadi perempuan pribumi yang jadi gundik adalah kesalahan yang paling besar. Tapi sejak kecil aku melihat Mama tidak pernah tunduk pada moral umum serupa itu. Bagi Mama ketidakadilan itu harus dilawan dengan keras, termasuk moral umum yang sering jadi tempat bersembunyi orang munafik dan lemah, seperti Herman Mellema.  

Kau tahu, tak ada seseorang yang sangat membenci Mama kecuali Robert Mellema, anaknya sendiri, kakakku. Robert Mellema---ah, bagaimana aku harus menyebut nama itu!--- menganggap dirinya Eropa seperti Papa. Dia begitu memuja Eropa, membenci pribumi, apalagi gundik seperti Mama. Kenyataan bahwa darah gundik mengalir dalam tubuhnya membuat kakakku semakin membenci Mama, namun ia tidak bisa melawan kekuasaan Mama. Mama memang tak bisa ditundukkan, apalagi oleh Robert Mellema, pemuda ingusan yang merasa dirinya Eropa, biarpun itu anaknya sendiri. Mama selalu berpesan agar aku jangan dekat-dekat dengan kakakku itu

Suatu hari Mama menyuruhku ke ladang mencari Darsam, mandor kami, dan aku bertemu dengan Robert yang sedang berburu. Ia memperlihatkan hasil buruannya, aku turun dari kuda, dan secepat itu ia menekan pundakku. Tangannya yang putih bertotol-totol  dengan kasar menyumpal mulutku. Aku meronta, tangan itu makin kuat menekan, menyumpal mulutku, aku tak bisa berteriak. Ladang sepi dan hanya terdengar suara angin; Robert Mellema memperkosaku...

Sejak peristiwa itu tak ada lagi kehidupan dalam diriku. Aku bingung, takut, jijik, namun aku tak bisa menangis dan berteriak. Tidak bisa kuceritakan ini pada Mama. Aku diam menyimpannya, sedang ingatan itu terus hidup dan menempel dalam tubuhku, merogoh jantungku dan memerasnya. Setiap hari ingatan itu membuatku lemah dan sekarat.  Jangankan berteriak, menangis sekalipun aku tidak bisa.                                                                        
Aku pun mulai tidak suka melihat dan bersentuhan dengan orang berkulit putih. Aku selalu menghindari mereka, termasuk guru atau teman-teman Minke. Bukan hanya bersalaman, aku bahkan selalu menghindar dari sentuhan dokter yang memeriksaku. Semua itu malah membuat sakitku bertambah, karena tiba-tiba saja aku baru sadar bahwa Eropa itu ada dalam tubuhku. Eropa yang telah menghina dan menyakitiku.

Di dekat Mama, Nyai Ontosoroh yang perkasa, aku hanya jadi boneka cantik yang manja dan lemah. Mama berulangkali mengatakan bahwa aku terlalu lemah, padahal di luar sana Eropa terus berlaku tak adil, memandang hina pribumi.  “Bakal jadi apa kau ini kalau aku tidak sanggup bersikap keras. Terhadap siapa saja. Dalam hal ini biar cuma aku yang jadi korban, sudah kurelakan jadi budak belian. Kaulah yang terlalu lemah, Ann. Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia tidak akan menjadi apa-apa,” begitu kata Mama.  

Ah, seandainya saja Mama tahu, bahwa masa lalunya yang dibencinya itu adalah juga kebencianku pada masa laluku. Kebencian Mama pada penghinaan Eropa adalah juga kebencianku pada Eropa yang telah menghinaku, yang bahkan itu dilakukan oleh anaknya sendiri, kakakku.

Ingatan Mama akan rasa terhinanya di masa lalu telah jadi dendam yang membuat Mama jadi perempuan keras dan berani melawan.  Sedang padaku, ingatan masa lalu itu tak bisa kuteriakkan, selain hanya diam terbaring menatap langit-langit kamar. Ingatan dan kebencian itu tidak bersarang di luar diriku, tapi  menempel dalam tubuhku, menghisap seperti lintah. .

#Tiga   

KEDATANGAN Minke ibarat pangeran yang ciumannya membangunkanku dari kematian. Sejak aku mengenal dan mencintainya, aku selalu ingin berada di dekatnya.. Bukan cuma bermanja, aku merasa hanya Minke yang membuat hiduku sangat berarti. Sehari saja Minke jauh dariku, tak hanya rindu yang menyiksaku, tapi ketakutan bahwa aku akan kehilangan dirinya, kembali dihantui oleh ingatan yang mengerikan itu.  Mama pun sangat menyukai Minke. Minke pandai dan berpikiran maju seperti Mama, dan yang paling penting Mama tahu Minke sangat menyayangiku.

Kepada Minke, Mama tak hanya menitipkanku, namun juga semangat agar kekasihku itu membangunkan kehormatan kaum pribumi, melawan ketidakadilan Eropa dengan tulisan-tulisannya. Mama percaya benar Minke sanggup melakukannya, seperti bagaimana ia mencintaiku.   

Dan malam itu, aku dan Minke tak bisa lagi mencegah hasrat tubuh kami berdua, kami bercinta. Kubiarkan ia menjamahku, kubiarkan ia masuk ke dalam tubuhku, kubiarkan ia memiliki seluruh diriku, meski setelah itu aku tahu apa yang ada dalam perasaannya. Ia terdiam, tahu seseorang telah mendahuluinya. Dengan sedu sedan kuceritakan semuanya,  ladang, semak-semak, suara angin, dan tangan Robert Mellema yang membekap mulutku. Walaupun Minke tak bisa menutupi rasa kecewanya, namun ia tidak menjauhiku, cinta dan sayangnya padaku tak berkurang. Kebahagianku  semakin lengkap ketika kami menikah. Menjadi pengantin dan istri Minke aku merasa lahir untuk kedua kalinya.

Tetapi, Eropa tidak pernah membiarkan kami kaum pribumi hidup di atas bumi yang lain selain kematian. Lewat pengadilan di Amsterdam yang mengabulkan gugatan Maurits Mellema, Eropa memisahkanku dari Minke dan Mama. Keputusan pengadilan itu seperti tangan kasar yang menekan pundakku,  tangan lelaki berkulit putih yang membekap mulutku. Tangan Eropa; Eropa yang ada dalam tubuhku juga.

Beginilah aku sekarang, sendirian dengan koper tua ini, menjadi Sanikem dalam masa lalu Mama, dibawa ke suatu tempat paling mengerikan; ke dalam masa lalu yang membuatku tak bisa berteriak dan melawan, selain dengan kematian...  (Berjalan ke luar)** 


SUMBER : Pikiran Rakyat, 28 Desember 2014 


  















  

    
  








.      
    
  




















.      
    
  









Tidak ada komentar:

Posting Komentar