Selasa, 24 November 2015

Cirebon dan Ahmad Syubbanuddin Alwy

 AHDA IMRAN, penyair dan esais

Dari buritan pantai yang koyak
kapal-kapal Laksamana Cheng Ho bertolak
menyusuri jejak kaki ribuan mil puteri kaisar Cina Ong Tien Nio

BEGITU Ahmad Syubbanuddin Alwy  menulis dalam “Cirebon 630 Tahun Kemudian”. Sebuah sajak panjang yang seluruhnya menyuguhkan panorama sejarah Cirebon. Seperti sajaknya kumpulan Bentangan Sunyi  (1996), dalam “Cirebon 630 Tahun Kemudian” sejarah itu hadir dalam nada yang getir; imaji-imaji visual yang membentang di antara dua kegentingan; kemegahan dan kehancuran.

Sajak panjang itu, sebagaimana tabiatnya puisi, menawarkan perspektif pemaknaan berikutnya atas sejumlah fakta historis, sebagai sebuah catatan batin. Catatan yang mentautkan kesadaran ke dalam kekinian. Catatan yang tentu berbeda dengan sejarah sebagai catatan lahir dari suatu masa. Oleh sebab itu, dalam sejarah perpuisian Indonesia modern, puisi panjang milik penyair kelahiran 28 Agustus 1962  itu bisa disebut sebagai puisi yang menarik dan langka, untuk menyebutnya belum pernah ada. Ketika sejarah (lokal) dihadirkan dalam sebuah puisi (epik) sebagaimana banyak terdapat dalam teks-teks tradisional.

Meski beberapa bagiannya telah dimuat dalam media-massa, dibacakan dalam berbagai forum, dan pernah pula dimuat dalam antologi tujuh penyair Jawa Barat Nafas Gunung (2004), sajak “Cirebon 630 Tahun Kemudian” belumlah rampung. Alwy (begitu penyair Cirebon ini akrab disapa) masih terus berupaya menyelesaikannya. Ia masih terus menelaah berbagai sumber, bolak-balik mendatangi sejumlah tempat yang menjadi penanda penting dalam sejarah Cirebon. Ia mengerjakan puisi itu dengan kesabaran yang luar biasa. Ia habis-habisan mengerahkan semua kemampuannya demi satu sajak itu, seakan ia tak akan pernah lagi menulis sajak. 

Minggu, 14 Juni 2015

Bandung: Antara Dayeuh Kolot dan Asia Afrika

APAKAH kota Bandung akan tetap ada seperti yang kita temui sekarang seandainya Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte dulu tidak mencaplok Negeri Belanda? Pertanyaan ini tentu saja terdengar aneh. Tapi bagaimanapun pertanyaan itu harus diajukan, karena peristiwa yang terjadi pada awal abad ke-19 itu secara tak langsung berhubungan dengan sejarah lahirnya sebuah kota yang bernama Bandung---yang konon berasal dari kata bandeng atau ngabandeng yang berarti genangan air yang luas.

Atau paling tidak, pertanyaan itu bisa menjadi cara untuk melihat kembali latar-belakang sejarah kelahirannya sebagai sebuah kota. Dari latar-belakang inilah kita bisa tahu bagaimana dalam sejarahnya Kota Bandung lahir dan berawal dari kondisi persaingan serta perseteruan antar negara-negara kolonial Eropa ketika itu dalam perseteruan dan persaingan memperebutkan koloni-koloni di kawasan Asia, dalam hal ini Prancis dan Inggris.  

Minggu, 24 Mei 2015

Mey Tak Pernah Bisa Menulis Cerita Ini



Oleh  Ahda Imran

Utami Dewi Godjali
Ketika Mey  memulai cerita ini dengan adegan orang mati yang mendatangi Istana Presiden, tiba-tiba saja Bapak muncul dalam kepala Mey. Menghadang dan menyeret orang mati itu keluar sebelum mencapai gerbang istana,  memasukkan tubuh yang penuh bekas penyiksaan itu ke dalam drum, menutup drum dengan cara mengelas, memberinya pemberat, membuangnya ke laut. Tak ada yang bisa dilakukan Mey, selain membayangkan bahwa ia tak bisa lagi menemukan orang mati itu sepanjang hari berdiri di bawah pepohonan, di tepi jalan, memandang lurus ke arah Istana Presiden.
Yang tinggal hanya sebatang pohon itu, tumbuh bersama ingatan Mey pada orang mati dan peristiwa kematiannya.  Tidak, bukan sebatang pohon. Kau tahu bukan, ada banyak lagi pohon serupa itu, tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Dalam bayangan Mey pohon-pohon itu memiliki batang dan dahan yang hitamnya menyerupai arang. Jika hujan turun, air di seluruh pepohonan itu menjadi merah, menetes atau bergelayutan di daun dan dahannya. Bila kau melewatinya lalu tempias datang dari arah pepohonan itu, kau akan terkejut menemukan pakaianmu dipenuhi percik darah.   
            Bapak mustahil tidak mengetahui hubungan Mey dengan pohon itu. Tetapi, Bapak membiarkan pohon itu tetap tumbuh sekaligus mengawasi pertumbuhannya, memangkasnya jika ranting dan dahan-dahannya sudah kelewat rimbun. Bapak tak pernah berpikir untuk menebangnya. Dan itu sengaja dilakukan Bapak untuk menyakiti ingatan Mey.

Senin, 12 Januari 2015

4 Tulisan dari Persiapan Kongres Kesenian


Kesenian, Negara, dan Kongres Kesenian

Penampilan Ferry Curtis dalam pembukaan 
MENELAAH kebudayaan adalah berperkara dengan kuasa perubahan. Kuasa yang membawa perkembangan kebudayaan ke dalam berbagai fenomena yang tak pernah diduga sebelumnya. Menakjubkan sekaligus mendebarkan. Disokong oleh ‘revolusi’ teknologi komunikasi-informasi, kuasa perubahan kian mendesakkan beragam pemikiran yang mengkritisi segala ihwal yang selama ini kukuh dipercayai. Sebagai ruang yang paling progresif merepresentasikan watak kebudayaan, kesenian niscaya tak bisa menyangkal kuasa tersebut. Kuasa yang membawa kesenian ke dalam perkembangan berikutnya; baik sebagai  fenomena seni atau fenomena kehadirannya di tengah publik.    

Sedang dalam ruang yang lain, kuasa perubahan juga memengaruhi jagat politik. Kuasa yang bukan sekadar mengubah polarisasi kuasa politik, namun memastikan desain politik pembangunan negara. Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, kuasa perubahan di jagat politik dengan berbagai isu dan friksinya, telah menyorongkan kegentingan dalam peran- fungsi negara. Terutama persambungannya dengan perkembangan kebudayaan yang bisa diselisik dari dinamika kesenian. Dinamika dengan fenomena kehadiran sonder persambungannya dengan negara.