Sabtu, 12 Maret 2016

Bandung dan Wawan Juanda


HANYA beberapa jam setelah upacara pemakamannya, Senin (5/7), sejumlah seniman dan aktivis kesenian di Bandung berkumpul di Taman Cikapayang Dago, Bandung. Seolah belum cukup mengucapkan doa di Sirnaraga, mereka merasa perlu berkumpul di taman itu demi melakukan doa bersama. Doa bagi seseorang yang telah pergi lebih dulu. Seseorang yang mereka sebut sebagai kawan, sahabat, kakak, bahkan guru. Seseorang yang tak henti memikirkan bagaimana hendaknya agar kota kelahirannya, Bandung, benar-benar menjadi kota dengan identitas budayanya. Seseorang, yang demi itu semua, terus diganggu oleh berbagai ide dan kerja untuk menciptakan agar seni dan budaya itu benar-benar menjadi event di tengah warga kotanya.

Sastra Instan, Pluralisme, Religiusitas



SASTRA sebagai pergulatan kreatif adalah sebuah jalan sunyi. Jalan yang tak mudah beriringan dengan kepentingan industri, apalagi popularitas. Meski hal itu akan sangat menggembirakan bila bisa diseiringkan, namun fenomena yang terjadi di tengah gegap gempitanya aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi karya sastra yang terjadi akhir-akhir ini ternyata menimbulkan semacam kecemasan juga. Sastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran. Tak ayal lagi tuntutan industri dan kepentingan-kepentingan yang pragmatis telah melahirkan budaya instan dalam berkesusastraan. Intensitas dalam pergulatan kreatif tersisihkan oleh tujuan dan kepentingan-kepentingan pragmatis, termasuk eksistensi dan popularitas. Banyak karya yang bermunculan tapi sebanyak dan secepat itu juga yang hilang, hanya sedikit yang kemudian mampu mengendap.

Kota dan Labirin Konsumerisme


DATANGLAH ke Bandung. Maka Anda sebenarnya tidaklah berada dalam sebuah kota, melainkan berada dalam sebuah labirin. Labirin yang sesak dan dikonstruk oleh berbagai kepentingan komersial. Kota dan seluruh ruang di dalamnya dibangun bukan lagi untuk kepentingan publik, melainkan demi melayani hasrat-hasrat kuasa para pemilik modal. Lihatlah, berbagai penunjuk jalan pun muncul dan memberi informasi ihwal lokasi komersial, mulai dari mal hingga factory outlet sehingga seluruhnya seolah telah menjadi bagian utuh dari tubuh kota. Inilah kisah kota dalam labirin konsumerisme. Kota yang tubuhnya dipenuhi oleh kekerasan simbolis.

Sudjojono: Marwah Sebuah Ide




TAK ada yang paling berharga bagi seorang seniman melainkan ide. Dengan ide, seorang seniman bergerak mengungkapkan jiwa dalam karya-karyanya. Karya seorang seniman bukan melulu tentang keindahan yang elok dan molek, tetapi juga mesti menghadirkan kebenaran yang menampak dalam jiwanya. Jiwa yang menampak adalah roh sebuah karya yang tidak melulu mesti patuh pada kaidah-kaidah keindahan. Karya yang besar hanya bisa lahir dari seniman yang mampu menghadirkan jiwanya. Oleh karena itu, menatap sebuah karya seni bukanlah melulu bertemu dengan gugusan keindahan, tetapi menatap jiwa seorang seniman. 

Apakah yang akan ditatap dan ditemukan jika jiwa seniman tak ada di dalam karya?

Jejak Terakhir H.R. Hidayat Suryalaga


SESAMPAINYA di Redaksi Pikiran Rakyat, ia tak langsung masuk menuju ruang diskusi di lantai dua di mana dia akan tampil sebagai pembicara. Ia tetap berada di dalam mobilnya, mengistirahatkan tubuhnya yang terus dihajar oleh batuk. Mungkin lima belas menit kemudian ia baru turun ditemani putranya Reza Suryalaga. Sebentar ia tampak menjadi segar ketika dalam ruang diskusi bertemu dengan para peserta dan dua pembicara lainnya, Endo Suanda dan Teddi Muhtadin. Dalam suasana semacam itu, ia, H.R. Hidayat Suryalaga (69), terlihat begitu bersemangat. Ia dengan someah berbincang dengan siapa pun.

Akan tetapi, batuk-batuk itu kembali mengganggunya, justru ketika ia dipersilakan duduk di depan sebagai pembicara. Seperti permintaannya kepada moderator menjelang diskusi, Kang Surya (begitu ia akrab disapa) mendapat giliran terakhir. Di situlah batuk tak henti-henti mengganggunya, meski botol obat batuk kecil selalu menemaninya. Di tengah batuk-batuk itulah ia tetap tekun menyimak apa yang dipaparkan oleh Endo Suanda dan Teddi Muhtadin.

Jumat, 11 Maret 2016

Bunga Dari Yunizar

BUNGA-BUNGA itu terlihat aneh. Ia tumbuh dengan garis batang dan ranting yang kaku, jauh dari lentur sebagaimana mestinya, bahkan tak ada selembar pun daun. Bunga-bunga itu pun terlihat tidak tumbuh di ujung ranting, tetapi seolah menclok begitu saja. Alih-alih memamerkan kelopaknya yang indah dan lembut, bunga itu terlihat kaku. Kelopak-kelopaknya tampak keras dengan bentuknya yang terlalu sederhana untuk menyebutnya kelopak bunga.

Tak ada apa pun di kelopak-kelopak bunga itu, embun, sisa air hujan, semut, kupu-kupu, bahkan juga gerak angin yang membuat kelopak bunga itu bergerak atau jatuh. Warna bunga-bunga itu pun aneh. Ia hanya mempunyai satu warna seperti batang dan rantingnya, bahkan juga seperti warna pot tempat ia tegak tumbuh.

 Inilah bunga yang dihadirkan oleh Yunizar di atas selusin kanvasnya dalam pameran tunggalnya bertajuk "Jogja Psychedeli Flowers from Yunizar" di Galeri Soemardja Bandung, selama hampir satu bulan (3 Agustus-30 Agustus 2010). Sebagaimana judulnya, pameran yang dikuratori oleh Aminuddin T.H. Siregar ini memang seluruhnya mengusung bunga sebagai subjeknya. Sebuah seri yang dilengkapi oleh satu karya objek berupa ribuan lebah.

Gus Dur Sebagai Kata Kerja


stradanieva.blogspot.com
JIKA kebudayaan dibaca sebagai kata kerja, pula demikian dengan K.H. Aburrahman Wahid (Gus Dur). Pergulatannya dalam jagat pemikiran kebudayaan bergerak dengan rambahan wacana yang demikian luas. Dan karena itulah, misalnya, Agus Maftuh Abegebriel dalam pengantar pada buku kumpulan tulisan Gus Dur Islam Kosmopolitan, menceritakan pengalamannya ketika ia meminta sejumlah orang untuk mendefinisikan Gus Dur. Dan ia terperanjat sekaligus setuju ketika seseorang menulis bahwa Gus Dur tidak terdefinisikan. Greg Barton, Greg Fealy, Robert W. Hefner, Andree Feillard, hanyalah sedikit dari pengkaji dan penelaah pemikiran Gus Dur. Akan tetapi tetap saja daya jelajah pemikiran mantan Ketua DKJ dan Presiden ke-4 RI ini sulit didefinisikan karena begitu banyaknya pintu untuk mendefinisikannya.

Gus Dur adalah sebuah fenomena. Tak hanya sebagai fenomena bahwa ia adalah seorang pemikir, penulis, tokoh Islam, politisi, bahkan juga sebagai seorang budayawan yang mampu mentransformasikan nilai-nilai tradisionalisme ke dalam peradaban modern. Tradisi, bagi Gus Dur, bukanlah tentang bagaimana merawat masa lalu, apalagi untuk mengubahnya menjadi ideologi kekuasaan. Dalam konteks pemikiran Islam dan kebudayaan, Gus Dur melihat masa lalu adalah ruang untuk menelaah sebuah spirit sehingga ia bisa memberi jawaban pada kekinian.

Demi Suku Naga




HARI ketiga pertunjukan, (13/11). Sejak siang udara mendung dan hujan tak henti-henti turun. Di Vila Arumba yang disediakan oleh Saung Angklung Udjo (SAU), sejumlah seniman berkumpul di teras. Irwan Guntari, Herry Dim, Yusep Muldiyana, dan sejumlah pendukung "Kisah Perjuangan Suku Naga" lainnya. Ada juga penyair Godi Suwarna yang meski telah mengikuti proses latihan beberapa kali urung bermain karena ritme latihan dan jarak Ciamis-Bandung. Di bagian dalam, seorang pemain terbaring sementara temannya memijati. Di bagian dalam dekat kamar mandi, Adinda Lutvianti dan Irena Arini dan sejumlah aktor muda hangat berbincang tentang pertunjukan di malam kedua.

Optimisme dan Logika Korban


PANDANGAN yang banyak mencemaskan perkembangan bahasa Sunda yang terus mengalami penurunan jumlah penuturnya, seperti yang selalu muncul dalam peringatan bahasa ibu, mau tak mau menyaran pada semacam pesimisme. Setiap menyambut Hari Bahasa Ibu, pesimisme itu selalu muncul dari data statistik. Bahkan sering kali dilengkapi dengan prediksi-prediksi yang kian menebalkan pesimisme itu. Dan ujung dari pesimisme itu kemudian menekan pada pengertian bahwa di tengah realitas global sekarang, bahasa Sunda kian terancam. Dengan kata lain, kecemasan dan pesimisme itu mengarah pada bayangan serbuan realitas global yang telah menyebabkan bahasa Sunda menjadi korban.

Pesimisme ini juga sebenarnya menjadi pertanyaan ketika kita berada di Bandung sekalipun. Sangatlah tidak sulit menemukan orang berbicara bahasa Sunda, baik dalam angkot maupun di tempat-tempat umum lainnya, termasuk anak-anak sekolah. Jangan sebut lagi jika kita berada di Ciamis, Garut, Tasikmalaya, atau sejumlah kota lainnya yang akan menjadi janggal jika orang menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam pandangan aktivis budaya Gustaff Hariman Iskandar, kecemasan itu membayangkan identifikasi diri sebagai pihak yang tak berdaya. Sebuah keadaan yang secara tak langsung membuat orang lantas menyalahkan keadaan atas sejumlah pihak. Ia bahkan melihat hasil survei semacam itu yang selalu muncul setiap tahun, jadi terlalu paranoid.

”Saya masih ingat ketika kita diskusi akhir tahun di ’PR’ yang menyinggung-nyinggung kebiasaan kita menciptakan mental victim (korban). Saya takut ini malah menjadi doa. Kecemasan itu akan terjadi dan tak memberi peluang pada kita untuk bersikap optimistis,” ujar aktivis yang akrab dengan berbagai komunitas kreatif di Bandung ini.