Sabtu, 12 Maret 2016

Sastra Instan, Pluralisme, Religiusitas



SASTRA sebagai pergulatan kreatif adalah sebuah jalan sunyi. Jalan yang tak mudah beriringan dengan kepentingan industri, apalagi popularitas. Meski hal itu akan sangat menggembirakan bila bisa diseiringkan, namun fenomena yang terjadi di tengah gegap gempitanya aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi karya sastra yang terjadi akhir-akhir ini ternyata menimbulkan semacam kecemasan juga. Sastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran. Tak ayal lagi tuntutan industri dan kepentingan-kepentingan yang pragmatis telah melahirkan budaya instan dalam berkesusastraan. Intensitas dalam pergulatan kreatif tersisihkan oleh tujuan dan kepentingan-kepentingan pragmatis, termasuk eksistensi dan popularitas. Banyak karya yang bermunculan tapi sebanyak dan secepat itu juga yang hilang, hanya sedikit yang kemudian mampu mengendap.

Lalu siapakah yang masih memelihara dan membuka lahan persemaian bagi tetap berlangsungnya pergulatan kreatif di tengah tarik-menariknya tuntutan industri dan kreativitas ini? Jawaban atas pertanyaan itu harus ditujukan pada komunitas-komunitas sastra yang kerap bekerja secara heroik dan militan dengan modal minim. Mereka berkarya dalam sepi ing pamrih, rame ing gawe. Dari ruang-ruang sunyi inilah sesungguhnya pencapaian kreatif bermula, yang pada saatnya nanti dunia industri akan menikmati hasil jerih payah mereka.

Inilah yang diapungkan oleh penyair Joko Pinurbo yang berbicara di hadapan para sastrawan dari sepuluh provinsi (Lampung, Banten, DKI, Jabar, Jateng, D.I. Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB, NTT) dalam Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) II 2006 di Denpasar-Bali, 12-15 Desember 2006 yang lalu. Apa yang diapungkan Joko sebagai evaluasinya terhadap strategi pemasyarakatan sastra, bisa disebut menarik karena paling tidak ia mencoba menengok sisi lain dari kegairahan aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi sastra akhir-akhir ini. Sebuah sisi yang juga sesungguhnya telah banyak dicemaskan oleh berbagai kalangan.

Selain Joko Pinirbo, dalam Temu Sastra MPU II 2006 ini juga hadir sebagai pembicara Yasraf Amir Piliang, Tryanto Triwikromo, Ahmad Tohari, Zawawi Imron, Isbedy Stiawan, Ahmadun Yosi Herfanda, Jean Couteau, Nyoman Dharma Putra, Raudal Tanjung Banua, dan Slamet Sukirnanto. Meski tema yang diusungnya terkesan bombastis, "Peranan Sastra Dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa" dan tidak menawarkan isu sastra yang relatif segar, namun sejumlah pemikiran dan perbincangan selama tiga hari di Denpasar-Bali tersebut terasa menekan pada semangat untuk memperbincangkan kembali sejumlah persoalan dalam hubungan antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakatnya dengan menyelasar ke dalam sejumlah fenomena yang menyertainya. Sebutlah, fenomena pluralisme dan multikulturalisme; representasi religiusitas dalam sastra dan bagaimana sesungguhnya spritualisme itu sendiri hendaknya dimaknai; fenomena perkembangan komunitas sastra; serta fenomena pemasyarakatan sastra itu sendiri yang berkorelasi erat dengan aktivitas industri sastra dengan implikasinya pada etos kreatif.

Pada yang terakhir inilah, Joko Pinurbo menengarai di balik kegembiraan munculnya tren menulis karya sastra di kalangan anak muda perkotaan, terutama untuk genre novel, kecemasan juga menyertainya, yakni ketika sastra tidak lagi ditempuh sebagai jalan sunyi seorang pengarang. Tapi lebih karena kepentingan-kepentingan yang pragmatis, termasuk demi kebutuhan eksistensi dan popularitas. Launching buku kerap jadi tradisi seremonial sawer pujian dan "ritual" eksistensi ketimbang menghadirkan pembacaan kritis pada buku tersebut. Dalam konteks inilah Joko Pinurbo pun setuju pada anggapan bagaimana di tengah situasi semacam itu kritik pun cenderung bisa dipesan, baik sebagai kata pengantar, komentar di sampul belakang buku, atau ketika kritikus, pengamat, atau sastrawan "senior" diminta jadi pembicara. Sayang, perbincangan dalam topik ini tidak dieksplorasi lebih jauh. Sejumlah tanggapan lebih menekan strategi pemasyarakat sastra yang ditujukan pada Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, atau juga pemikiran yang masih berputar-putar di wilayah pertanyaan tentang infrastruktur pendidikan di sekolah-sekolah dalam kehendak membangkitkan minat baca siswa.

**

SEDANGKAN perbincangan di seputar pluralisme dan multikulturalisme ditating oleh Yasraf Amir Piliang dan Tryanto Triwikromo. Perbincangan ini cukup menarik karena mengapungkan sejumlah pemikiran yang ketat, terutama ketika sampai pada soal bagaimana sesungguhnya perbedaan itu dimaknai, dan bagaimana seluruhnya itu direpresentasikan dalam karya sastra. Dalam hal inilah Yasraf Amir Piliang memandang bagaimana semangat serta prinsip-prinsip pluralisme dan multikulturalisme telah mendorong berbagai kemungkinan estetis dalam karya seni, termasuk karya sastra.

Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi logis dari perlawanan terhadap dominasi universalisme, sentralisme, dan homogenisasi kultural. Adalah keduanya, pluralisme dan multikulturalisme, yang merepresentasikan berbagai kasadaran tentang bagaimana hendaknya perbedaan dan keanekaragaman itu dimaknai, yang pula dihadirkan dengan berbagai kecenderungan estetis, idiom, pilihan metafor, dan gaya.

Menurut Yasraf, terdapat sejumlah penjelasan untuk memberi penanda pada semangat perlawanan terhadap domininasi universalisme, sentralisme, dan homogenisasi kultural ini. Dari mulai karya sastra yang merepresentasikan kesadaran pada multikulturalisme kritis, sebagai upaya perjuangan kultural dan estetik ke arah eksistensi, persamaan hak, emansipasi, politik representasi, dan politik posisi; multikulturalisme intertekstual yang membuka ruang bagi berbagai perlintasan estetik dalam konteks waktu dan ruang yang berbeda; multikulturalisme eklektik yang mencomot dan menggabungkan berbagai bentuk kebudayaan, yang bertentangan sekalipun, sehingga ia mencairkan kepastian identitas menjadi ketidakpastian; hingga multikulturalisme hibrida yang memaktubkan berbagai persilangan bentuk kebudayaan sehingga menghasilkan estetika hibrida. Pada yang terakhir ini hibridisasi hadir dalam bentuk, gaya ungkap, konsep, ideologi, tanda, dan makna.

Sementara itu tak kalah menariknya adalah perbincangan dalam topik "Membangun Religiusitas Masyarakat Melalui Sastra" dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan, dan Zawawi Imron. Sebagai sastrawan yang lekat dengan kultur keagamaan, Ahmad Tohari dan Zawawi Imron demikian fasih menawarkan cara pandang terhadap pemaknaan spritualitas yang terlepas dari atribut-atribut keagamaan. Menurut keduanya, selama ini cenderung terjadi kesalahpahaman orang dalam mengartikan religiusitas dan spiritualitas, yang selalu dihubung-hubungkan dengan agama. Dalam pandangan Zawawi Imron, religiusitas bukanlah agama sebagaimana pengertiannya dalam kamus, namun sesuatu yang telah mengatasi agama itu sendiri. Religiusitas adalah substansi dari agama.

"Karena itu jadi aneh, banyak orang di negeri yang mengaku beragama tapi minus religiusitas. Di sini agama jadi dipakai untuk berkelahi. Kerja membajak sawah atau perawat yang menyeka nanah pasiennya, bagi saya itu adalah kerja religius. Orang-orang yang terus menyebut Tuhan, belumlah tentu religius," ujarnya.

Senada dengan itu, Ahmad Tohari berangkat dari pandangannya bahwa religiusitas adalah sesuatu yang universal. Dalam karya sastra, kesadaran atas hal ini bisa muncul dalam bentuknya yang gamblang, misalnya, dalam sastra sufi. Namun itu juga tidak bisa mengabaikan bagaimana kesadaran religiusitas juga bisa muncul dalam karya sastra yang bersifat profan. "Banyak karya sastra yang tampaknya melawan nilai-nilai religius, namun sebenarnya merupakan gambaran tentang kegelisahan manusia dalam mencari dan menemukan sangkan lan paraning dumadi," katanya.

**

AKHIRNYA Temu Sastra MPU II 2006 berakhir dengan sejumlah jejak yang ditinggalkannya. Jejak yang mungkin terlalu berlebihan untuk diharap akan mengapungkan isu-isu sastra terbaru. Yang ada di dalamnya adalah keinginan untuk memeriksa dan mengevaluasi kembali hubungan antara sastrawan, karya sastra, pembaca, dan masyarakatnya, tanpa embel-embel dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa, seperti yang dibebankan oleh tema penyelenggaraannya.

Lepas dari soal itu, temu sastra dua tahunan yang diselenggarakan berkat kerja sama sepuluh pemerintah daerah yang tergabung dalam MPU ini, dalam salah satu butir ketetapan dan rekomendasinya menunjuk Jawa Barat sebagai tuan rumah Temu Sastra MPU III tahun 2008 mendatang.

"Jabar siap menjadi tuan rumah penyelenggaraan Temu Sastra MPU III tahun 2008 nanti, dan dengan senang hati menerima penunjukan ini. Saya sudah konsultasikan dengan gubernur dan Beliau sudah memberi lampu hijau. Namun begitu, kami tetap akan meminta masukan dari teman-teman tentang tema yang akan kita angkat nanti. Saya berharap tema yang akan diangkat nanti adalah hal-hal yang langsung berhubungan konteks yang kini tengah terjadi, yakni ekologi atau lingkungan hidup, dan bagaimana karya sastra memunculkan kesadaran terhadap hal itu," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar H.I. Budhyana yang juga hadir di Denpasar.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh penyair Godi Suwarna, satu-satunya sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah (Sunda) yang dua kali diundang mengikuti Temu Sastrawan MPU. "Tapi saya berharap dalam Temu Sastrawan MPU mendatang setiap provinsi juga mengikutsertakan penyair yang menulis dalam bahasa daerahnya, sehingga potensi sastra berbahasa daerah juga bisa terbaca, di samping bisa saling mengenal keberbagaian. Jabar pun harus lebih siap dan lebih baik penyelenggaraannya dari Banten dan Bali," ujarnya.

Sejak penyelenggaraan Temu Sastrawan MPU I tahun 2003 di Serang-Banten, memang hanya Jabar yang membawa sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah. Hal ini memang diniatkan untuk merangsang provinsi-provinsi lain agar juga melakukan hal yang sama sehingga temu sastrawan ini tak hanya menjadi milik mereka yang menulis dalam bahasa Indonesia. Namun juga mengusung potensi dan dinamika karya sastra dalam bahasa daerahnya masing-masing. Dalam Temu Sastrawan MPU II 2006 di Denpasar-Bali yang baru lalu, selain Godi Suwarna juga tampil sastrawan Bali Semargantang yang dengan memukau membacakan karyanya dalam bahasa Bali. (Ahda Imran)

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Desember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar